Jumat, 17 Maret 2017

Nostalgia Telepon

Nostalgia Telepon

Sebagai anak generasi 90-an, saya merasakan perubahan dari tak punya telpon rumah hingga kemudian kabel telpon datang ke perumahan tempat kami tinggal. Ketika kabel tersebut datang rasanya girang luar biasa, mungkin persis dengan orang-orang jaman dahulu yang kedatangan kabel listrik untuk pertama kalinya.
Keriaan ini tak berhenti hingga kemudian telepon berdering. Perebutan mengangkat telepon pun terjadi demi bisa berbicara dengan telepon. Norak sih, tapi girangnya ketika mendengar telepon berbunyi itu memang tak bisa dibandingkan dengan keriaan jaman sekarang ketika telepon genggam kita berbunyi. Saya akan semakin girang jika panggilan tersebut adalah panggilan yang bersifat interlokal atau bahkan internasional, dari sanak saudara yang jauh. Ah rasa senang bisa berbicara dengan mereka, saat itu sungguh tak terdeskripsikan. Ya maklum jaman segitu belum ada sosial media, apalagi internet.
Sebagai anak nakal, tak sah tentunya jika saya tak mengakali telepon yang dikunci. Batang bagian belakang lidi saya selipkan untuk memencet tombol-tombol telepon. Ide ini tak saya contek dari mana-mana, tapi datang ketika saya sedang akan tidur. Sebelum menggunakan batang lidi, saya mencoba dengan jarum rajut milik ibunda saya, tapi jarum rajut itu terlalu gemuk.
Ketika tagihan telepon membengkak, bahkan hingga bermeter-meter panjangnya, ibunda saya mengganti pesawat telepon dengan pesawat tanpa tombol. Eh sebelum digantikan, saya dimarahin habis-habisan terlebih dahulu. Tapi saya yang nakal tak kehilangan akal, saya pun belajar melakukan panggilan dengan cara memencet tombol koneksi. Entah apa nama yang tepat untuk tombol ini. Satu kali untuk angka satu, dan sepuluh kali untuk angka nol. Teknik ini sering berhasil tapi juga sering gagal. Yang jelas, saya memastikan tagihan telepon terlihat wajar-wajar saja dan tak tinggi.
Selain telpon rumah, saya juga pengguna telpon umum, seperti telepon koin, hingga telepon kartu, baik yang tipis maupun yang menggunakan chip. Jaman itu, salah satu tetangga saya berhasil melubangi koin seratus rupiah dan mengikatnya dengan benang. Ketika hubungan telepon tersambung, tangan pun harus cepat menyambar koin supaya tak segera masuk ke kotak. Bicara di telepon pun harus cepat, karena dengan ongkos seratus rupiah, kita hanya diperkenankan berbicara selama tiga menit saja. Ketika ongkos telepon naik, dengan koin yang sama kita hanya bisa berbicara selama satu menit. Tak hanya itu, bicara pun harus kencang, karena seringkali pengguna harus bersaing dengan suara kendaraan yang lewat.
Ketika telepon kartu hadir, saya ingat betul PT Telkom berkata bahwa kartu telpon seharga dua puluh lima ribu rupiah tersebut tak bisa diakali. Faktanya, kartu-kartu tersebut bisa diakali dengan mudahnya dengan menempelkan isolasi berwarna hitam. Tentu saja ada teknik khusus yang saya tak tahu bagaimana, tapi yang jelas kartu tersebut bisa digunakan hingga berpuluh-puluh kali hanya dengan membayar mahasiswa-mahasiswa teknik sebesar lima ribu rupiah saja. Akibatnya, kartu menjadi tergesek-gesek dan tak bisa dikoleksi lagi.
Berbicara tentang telepon tentunya tak bisa lepas dari jasa warung telekomunikasi, atau yang lebih lazim disingkat menjadi wartel. Ruang-ruang wartel biasanya dibedakan untuk yang khusus interlokal serta yang khusus lokal saja. Berbicara di wartel pun harus berbisik-bisik, supaya mereka yang ada di kubikel sebelah tidak terganggu dan tak mendengar bisikan-bisikan khas remaja yang baru berkenalan dengan asmara.
Telepon rumah sudah bukan menjadi barang mewah lagi, bahkan dianggap sebagai barang kuno yang tak terlalu penting. Di Irlandia, kami mendapatkan telepon rumah secara gratis dari penyedia internet dan tv kabel kami. Saking gratisnya, biaya telepon ke beberapa negara pun digratiskan.
wpid-20140912_195136.jpg
Telpon umum di Galway
Telepon umum sendiri, perlahan-lahan mati karena kehadiran telepon genggam. Di Irlandia, telepon umum masih bisa ditemukan di beberapa sudut kota. Bahkan di Cork, saya menemukan telepon umum di dalam pub. Bodohnya, telepon tersebut tak saya abadikan. Saya tentunya tak tahu apakah telepon tersebut masih berfungsi atau tidak, karena ide untuk masuk ke dalam bilik telepon umum membuat saya geli, apalagi telepon umum tersebut dalam kondisi kotor. Kondisi telepon umum ini masih sedikit lebih baik ketimbang telepon umum di Indonesia yang lebih sering gagang atau bahkan teleponnya hilang.
Dari semua kenangan terindah saya dengan pesawat telepon, momen terindah bagi saya terjadi di sebuah telepon umum yang rusak. Ketika itu puluhan koin seratus seratus rupiah keluar dari bagian bawah telepon umum. Rasanya seperti menang jackpot walaupun uangnya hanya cukup untuk sekedar membeli anak mas rasa keju dan chiki balls.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar