Nostalgia Telepon
64
Sebagai anak generasi 90-an, saya
merasakan perubahan dari tak punya telpon rumah hingga kemudian kabel
telpon datang ke perumahan tempat kami tinggal. Ketika kabel tersebut
datang rasanya girang luar biasa, mungkin persis dengan orang-orang
jaman dahulu yang kedatangan kabel listrik untuk pertama kalinya.
Keriaan ini tak berhenti hingga kemudian
telepon berdering. Perebutan mengangkat telepon pun terjadi demi bisa
berbicara dengan telepon. Norak sih, tapi girangnya ketika mendengar
telepon berbunyi itu memang tak bisa dibandingkan dengan keriaan jaman
sekarang ketika telepon genggam kita berbunyi. Saya akan semakin girang
jika panggilan tersebut adalah panggilan yang bersifat interlokal atau
bahkan internasional, dari sanak saudara yang jauh. Ah rasa senang bisa
berbicara dengan mereka, saat itu sungguh tak terdeskripsikan. Ya maklum jaman segitu belum ada sosial media, apalagi internet.
Sebagai anak nakal, tak sah tentunya jika
saya tak mengakali telepon yang dikunci. Batang bagian belakang lidi
saya selipkan untuk memencet tombol-tombol telepon. Ide ini tak saya
contek dari mana-mana, tapi datang ketika saya sedang akan tidur.
Sebelum menggunakan batang lidi, saya mencoba dengan jarum rajut milik
ibunda saya, tapi jarum rajut itu terlalu gemuk.
Ketika tagihan telepon membengkak, bahkan
hingga bermeter-meter panjangnya, ibunda saya mengganti pesawat telepon
dengan pesawat tanpa tombol. Eh sebelum digantikan, saya dimarahin
habis-habisan terlebih dahulu. Tapi saya yang nakal tak kehilangan akal,
saya pun belajar melakukan panggilan dengan cara memencet tombol
koneksi. Entah apa nama yang tepat untuk tombol ini. Satu kali untuk
angka satu, dan sepuluh kali untuk angka nol. Teknik ini sering berhasil
tapi juga sering gagal. Yang jelas, saya memastikan tagihan telepon
terlihat wajar-wajar saja dan tak tinggi.
Selain telpon rumah, saya juga pengguna
telpon umum, seperti telepon koin, hingga telepon kartu, baik yang tipis
maupun yang menggunakan chip. Jaman itu, salah satu tetangga saya
berhasil melubangi koin seratus rupiah dan mengikatnya dengan benang.
Ketika hubungan telepon tersambung, tangan pun harus cepat menyambar
koin supaya tak segera masuk ke kotak. Bicara di telepon pun harus
cepat, karena dengan ongkos seratus rupiah, kita hanya diperkenankan
berbicara selama tiga menit saja. Ketika ongkos telepon naik, dengan
koin yang sama kita hanya bisa berbicara selama satu menit. Tak hanya
itu, bicara pun harus kencang, karena seringkali pengguna harus bersaing
dengan suara kendaraan yang lewat.
Ketika telepon kartu hadir, saya ingat
betul PT Telkom berkata bahwa kartu telpon seharga dua puluh lima ribu
rupiah tersebut tak bisa diakali. Faktanya, kartu-kartu tersebut bisa
diakali dengan mudahnya dengan menempelkan isolasi berwarna hitam. Tentu
saja ada teknik khusus yang saya tak tahu bagaimana, tapi yang jelas
kartu tersebut bisa digunakan hingga berpuluh-puluh kali hanya dengan
membayar mahasiswa-mahasiswa teknik sebesar lima ribu rupiah saja.
Akibatnya, kartu menjadi tergesek-gesek dan tak bisa dikoleksi lagi.
Berbicara tentang telepon tentunya tak
bisa lepas dari jasa warung telekomunikasi, atau yang lebih lazim
disingkat menjadi wartel. Ruang-ruang wartel biasanya dibedakan untuk
yang khusus interlokal serta yang khusus lokal saja. Berbicara di wartel
pun harus berbisik-bisik, supaya mereka yang ada di kubikel sebelah
tidak terganggu dan tak mendengar bisikan-bisikan khas remaja yang baru
berkenalan dengan asmara.
Telepon rumah sudah bukan menjadi barang
mewah lagi, bahkan dianggap sebagai barang kuno yang tak terlalu
penting. Di Irlandia, kami mendapatkan telepon rumah secara gratis dari
penyedia internet dan tv kabel kami. Saking gratisnya, biaya telepon ke
beberapa negara pun digratiskan.
Telepon umum sendiri, perlahan-lahan mati
karena kehadiran telepon genggam. Di Irlandia, telepon umum masih bisa
ditemukan di beberapa sudut kota. Bahkan di Cork, saya menemukan telepon
umum di dalam pub. Bodohnya, telepon tersebut tak saya abadikan. Saya
tentunya tak tahu apakah telepon tersebut masih berfungsi atau tidak,
karena ide untuk masuk ke dalam bilik telepon umum membuat saya geli,
apalagi telepon umum tersebut dalam kondisi kotor. Kondisi telepon umum
ini masih sedikit lebih baik ketimbang telepon umum di Indonesia yang
lebih sering gagang atau bahkan teleponnya hilang.
Dari semua kenangan terindah saya dengan
pesawat telepon, momen terindah bagi saya terjadi di sebuah telepon umum
yang rusak. Ketika itu puluhan koin seratus seratus rupiah keluar dari
bagian bawah telepon umum. Rasanya seperti menang jackpot walaupun uangnya hanya cukup untuk sekedar membeli anak mas rasa keju dan chiki balls.